Posted by : Pathurroni
6 May 2014
MAKALAH
TEORI-TEORI SOSIAL
“INTEGRASI SOSIAL”
DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:
AYU
RUSMIATI
FIBRIWATI
SAOMI
ISNAYU
M.
RIZKI RAMADHAN
PRODI:
PPKn Reg. Sore ( II.B )
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah yang
berjudul “INTEGRASI
SOSIAL” ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang yang telah membantu kelancaran proses
penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini tentu masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga makalah yang telah penulis susun ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang memanfaatkannya.
Mataram, 17 April 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB 1: PENDAHULUAN.................................................................................................................... 1
BAB II:
HISTORISASI............................................................................................................................ 2
BAB
III: TOKOH-TOKOH PENGGAGAGAS............................................................................ 2
BAB IV:
ASUMSI-ASUMSI DASAR............................................................................................... 3
(a) FaktaSosial
(The Rule Of Sociological Method) ................................... 4
(b) Teori
Solidaritas (The Division of Labour in Society)......................... 6
(c) Teori
Bunuh Diri.................................................................................................... 8
BAB V: APLIKASI
TEORI.................................................................................................................... 10
BAB VI:
KRITIK TEORI EMILE DURKHEIM............................................................................. 11
BAB
VII: KESIMPULAN....................................................................................................................... 12
REFRENSI............................................................................................................ 13
BAB
I
INTEGRASI
SOSIAL (EMILE DURKHEIM)
A. PENDAHULUAN
1.
Pengertian integrasi
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration”
yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara sistem-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian fungsi. Dalam KBBI integrasi diartikan pembauran sesuatu yang
tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat
Integrasi sistem adalah proses penyesuaian sistem-unsur
yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang
berbeda tersebut dapat meliputi ras, etnis, agama bahasa, kebiasaan, sistem
nilai dan lain sebagainya.
2.
Pengertian integrasi sosial menurut
ahli :
a) Menurut Baton : integrasi sebagai suatu pola
hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak
memberikan fungsi penting pada perbedaan pada ras tersebut
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di
mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan
mereka masing-masing.
Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
(1) Pengendalian terhadap konflik
dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
(2) Membuat suatu keseluruhan dan
menyatukan unsur-unsur tertentu
Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang
dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur
sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat
tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik
maupun konflik
yang terjadi secara sosial budaya.
Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa
terintegrasi di atas dua landasan berikut :
(1)
Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus
(kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar).
(2) Masyarakat terintegrasi karena
berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan
sosial (cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di
antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan
oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota
masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Penganut konflik
berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya
saling ketergantungan di antara berbagai kelompok. Integrasi sosial akan
terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang
batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
3.
Syarat terjadinya Integrasi
Menurut
William F. Ogburn dan Meyer Nimkoff, syarat terjadinya integrasi sosial
adalah :
(a)
Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling
mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka.
(b) Masyarakat berhasil menciptakan
kesepakatan (konsensus) bersama mengenai nilai dan norma
(c) Nilai dan norma sosial itu berlaku
cukup lama dan dijalankan secara konsisten.
4.
Faktor yang mempengaruhi cepat atau
lambatnya proses integrasi
(1)
Homogenitas kelompok,
pada masyarakat yang homogenitasnya rendah integrasi sangat mudah tercapai ,
demikian sebaliknya.
(2) Besar kecilnya
kelompok, jumlah anggota
kelompok mempengaruhi cepat lambatnya integrasi karena membutuhkan penyesuaian
diantara anggota.
(3) Mobilitas geografis, semakin sering anggota suatu
masyarakat datang dan pergi maka semakin mempengaruhi proses integrasi
(4) Efektifitas
komunikasi, semakin efektif
komunikasi, maka semakin cepat integrasi anggota-anggota masyarakat tercapai.
5.
Bentuk-bentuk integrasi sosial
(a)
Integrasi Normatif
: integrasi yang terjadi akibat adanya norma-norma yang berlaku
dimasyarakat, contoh masyarakat Indonesia dipersatukan oleh semboyan
Bhineka Tunggal Ika
(b) Integrasi Fungsional:integrasi yang terbentuk sebagai
akibat adanya fungsi-fungsi tertentu dalam masyrakat. Contoh Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku, mengintegrasikan dirinya dengan melihat fungsi
masing-masing, suku bugis melaut, jawa pertanian, Minang pandai berdagang.
(c) Integrasi Koersif: integrasi yang terbentuk
berdasarkan kekuasaan yang dimiliki penguasa.. Dalam hal ini penguasa
menggunakan cara koersif.
6.
Proses Integrasi
Proses integrasi dapat dilihat melalui proses-proses
berikut:
(1) Asimilasi: berhadapannya dua kebudayaan atau
lebih yang saling mempengaruhi sehingga memunculkan kebudayaan baru dengan
meninggalkan sifat asli.
(2) Akulturasi: proses sosial yang terjadi bila
kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing
(baru), sehingga kebudayaan asing (baru) diserap/diterima dan diolah dalam
kebudayaan sendiri, tanpa meninggalkan sifat aslinya.
7.
Faktor-faktor Pendorong Integrasi
Sosial
(a)
Adanya tolerasnsi terhadap kebudayaan yang berbeda.
(b) Kesempatan yang seimbang dalam
bidang ekonomi.
(c) Mengembangkan sikap saling
menghargai orang lain dengan kebudayaannya.
(d) Adanya sikap yang terbuka dengan
golongan yang berkuasa.
(e) Adanya persamaan dalam unsur unsur
kebudayaan.
(f) Adanya perkawinan campur
(amalgamasi).
(g) Adanya musuh bersama dari
luar.
8.
Fase-fase integrasi :
a. Akomodasi : penyesuaian sosial dalam
interaksi antara pribadi dan kelompok manusia untuk meredakan pertentangan atau
konflik.
b. Koordinasi : mengatur kegiatan agar tindakan
yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur.
c. Asimilasi : pembauran nilai dan sikap warga
masyarakat yang tergolong sebagai satu bangsa.
BAB II
HISTORISASI
Emile
Durkheim lahir di Epinal, provinsi Lorraine, Perancis Timur pada 15 April 1858. Durkheim boleh disebut sebagai sosiologi
Perancis pertama yang sepanjang hidupnya menempuh jenjang ilmu sosiologi yang
paling akademis. Dialah yang juga memperbaiki metode berfikir sosiologis yang
tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi sosiologi
akan menjadi ilmu pengetahuan yang benar katanya apabila mengangkat gejala
sosial sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.
“A thing he
definite as anything that could be observed. Social phenomena, he said, must be
treated as “things”, If Sociology was to be made a science.” dan Durkheim pula dengan kukuh menolak interpretasi yang biologistik dan
psikoligistik terhadap masalah-masalah sosial. Itulah sebabnya Sorokin
memasukkan Durkheim masuk ke dalam aliran sosiologistik.
Dia
dilahirkan dalam keluarga agamis namun pada usia belasan tahun minat terhadap
agama lebih akademis daripada teologis. Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di
Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk. Di Universitas
tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis, kemudian pemikiran
Durkeim dipengaruhi oleh dua orang profesor di Universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Boutroux).
Setelah
menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat
di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun
1882 sampai 1887. Kemudian masih pada tahun 1887 (29 tahun) disamping
prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan
sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah di bidang akademik karena prestasinya
itu dia dirgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan
fakultas ilmu sosial di universitas Bourdeaux.
Tahun 1893
Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis yaitu The Division
of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa Latin tentang Montesqouieu.
Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of Sociological
Method. Tahun 1896 diangkat menjadi professor penuh untuk pertama kalinya di
Prancis dalam bidang ilmu sosial. Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya yang
berjudul Suicide (Le-Suicide) dan mendirikan L’Anée Sociologique (jurnal ilmiah
pertama tentang Sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun
1906 dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun
keudian (1912) menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of
Religious Life. Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi
professor ilmu Pendidikan dan Sosiologi. Pada tahun ini Sosiologi resmi
didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis.
Tahun 1915
Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15
November 1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan
dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta
setelah dia mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.
BAB III
TOKOH-TOKOH PENGGAGAS
Pemikiran-pemikiran Emile
Durkheim terpengaruh oleh tradisi kolektivitis, yang pernah dikemukakan oleh
Maistre, St. Simon, dan Comte. Reaksinya terhadap gagasan-gagasan
individualistis Herbert Spencer dan Aliran Untilitarian dari Inggris.
Dari
sekian banyak karya ilmiah Durkheim tampak adanya tekanan pada pandangan
kolektivitis, yang mengecilkan atau bahkan menghilangkan individualism. Tekanan
terhadap masalah itu, pada dasarnya membedakan sosiologinya Durkheim dengan
sosiologi-sosiologi yang dikembangkan oleh Spencer, Weber dan Marx. Mereka
mencari dasar aksi kolektif pada individu.
BAB IV
ASUMSI DASAR TEORI
A. Emile
Durkheim: Pendiri Sosiologi – Integrasi Sosial
Menurut Durkheim, keseluruhan ilmu
pengetahuan tentang masyarakat harus didasarkan pada prinsip-prinsip
fundamental yaitu “realitas objektif” dan “kenyataan/fakta sosial”.
Gagasan Durkheim tentang solidaritas dan
integritas sosial sebagai fakta sosial sangat dipengaruhi oleh situasi yang
terjadi saat itu. Akibat dari revolusi Perancis dan kekalahan Perancis dari
Prusia, membuat goyah keteraturan sosial dan situasi politik. Meskipun situasi
politik dan sosial goyah, namun revolusi industri tetap maju, dan membawa
perubahan dalam struktur ekonomi, hubungan sosial, serta orientasi budaya.
Dalam bidang pendidikan, terjadi pergeseran berdasarkan sikap antiklerikal,
maka kebanyakan sistim pendidikan Khatolik diganti dengan sistim pendidikan
sekuler. Oleh karena itu, dalam masa peralihan ini, Durkheim yang tidak
bernostalgia dengan keberhasilan masa lalu, merasa perlu untuk mengembangkan
satu alternatif lain pendidikan (secara khusus pendidikan moral). Durkheim
memandang bahwa pendidikan moral merupakan salah hal yang amat penting untuk
memperkuat dasar-dasar masyarakat dan meningkatkan integrasi serta solidaritas
sosialnya.
1.
Teori-teori Emile Durkheim
(a)
Fakta Sosial (The Rule Of
Sociological Method)
Emile Durkheim mengembangkan konsep
masalah pokok sosiologi menjadi penting dan kemudian diujinya melalui studi
empiris. Secara singkat, Pokok bahasan dari sosiologi adalah studi atas fakta
sosial. Fakta sosial didefenisikan sebagai: Fakta sosial adalah seluruh cara
bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai
sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah
seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang
sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Asumsi dasar dari pendefenisian Durkheim
tersebut adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran
individu serta perilakunya. Gejala sosial (seperti aturan legal, beban moral,
bahasa dan konsensus sosial) sebagai seuatu yang riil/faktual, maka gejala-gejala
tersebut dapat dipelajari dengan metode-metode empirik. Oleh sebab itu,
dimungkinkan untuk dikembangkannya metode keilmuan dengan gejala/fakta sosial
sebagai objek material ilmu tersebut, yaitu ilmu sosiologi.
Kenyataan/fakta sosial tersebut terjadi dalam
satu kehidupan bersama/komunitas. Komunitas yang dimaksud di sini adalah
komunitas dalam pengertian abad XIX-XX, yang meliputi segala bentuk hubungan
yang ditandai oleh tingkat keakraban yang sangat tinggi, kedalaman memosi,
komitmen moral, kohesi sosial. Komunitas dibangun atas dasar manusia dalam
keutuhannya, bukan peranan-peranannya yang terpisah-pisah.
Durkheim
membedakan dua tipe ranah fakta sosial:
1. Fakta sosial Material
Fakta sosial
material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta sosial material
tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuta
yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah
yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
2. Fakta sosial Nonmaterial
Durkheim
mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam
fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi
secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Individu
masih perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun
bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh
individu. Oleh karena itu dalam karya yang sama Durkheim menulis bahwa hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui
manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia.
Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial:
a. Moralitas
Perspektif
Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin
bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa
dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa
individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya,
moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu
yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap
sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada
“kesehatan” moral masyarakat modern.
b. Kesadaran Kolektif
Durkheim
mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan
perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu
sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan
kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan
kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran
partikular”.
Ada beberapa
hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat
dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan
dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai
sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran
kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang
dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui
kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran
kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama.
Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim
menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki
kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama,
lebih dari masyarakat modern.
c. Representasi Kolektif
Contoh
representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya
mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita
untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi
kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul
dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena
cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar
atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
d. Arus Sosial
Menurut
Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam
bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat,
amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.
e. Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan
pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling
bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus
berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan
hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam
hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang
tak ada bandingannya di dunia biasa.
Karakteristik Fakta Sosial:
Durkheim mengemukakan tiga karakteristik
fakta sosial (yang membedakannya dengan gejala-gejala psikologis), yakni gejala
sosial bersifat eksternal terhadap individu, fakta sosial memaksa individu, dan
fakta sosial bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam masyarakat.
(b) Teori Solidaritas (The
Division of Labour in Society)
The Division of Labor in Society adalah
karya monumental dari Durkheim dan merupakan karya sosiologi klasik yang
pertama. Di dalamnya Durkheim memanfaatkan ilmu sosiologi untuk meniliti
sesuatu yang disebut sebagai krisis moralitas. Selama hidupnya, Durkkheim
merasa adanya krisis moralitas di Perancis akibat adanya revolusi Perancis.
Revolusi Perancis telah mendorong orang untuk terpusat pada hak-hak individual,
yang merupakan reaksi kontra terhadap dominasi gereja. Durkheim melihat bahwa
krisis moralitas (individualisme) berakibat pada pembagian kerja yang memaksa
individu-individu tertuntut secara ekonomis dan mengancam moralitas sosial,
oleh sebab itulah dibutuhkan moralitas sosial yang baru. Pada titik ini,
Durkheim memandang bahwa pembagian kerja tersebut dapat berfungsi positif
karena pada akhirnya akan membuahkan solidaritas antara dua orang atau lebih.
Dalam buku
ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara
orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah
yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain.
solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan / atau
kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
1) Solidaritas mekanis
Solidaritas
mekanis dibentuk oleh hukum represif (pelaku suatu kejahatan atau
perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran
kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu). karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain,
dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun
pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh
setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggaranya terhadap system
moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran
kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.
2) Solidaritas organik
Masyarakat
solidaritas organik dibentuk oleh hukum restitutif (ia bertujuan bukan untuk menghukum
melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks).
Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan
restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap
individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem
moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan orang tidak
melakukan reaksi xecara emosional terhadap pelanggaran hukum. Durkheim
berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan
bukannya hilang. Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang
diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran
individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung
satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja
dari suatu pembagian pekerjaan sosial. Dinamika
Penduduk
Pembagian kerja sebagai fakta sosial
material diyakini oleh Durkheim mesti dijelaskan oleh fakta sosial yang
lainnya. Durkheim meyakini bahwa perubahan solidaritas mekanis menjadi
solidaritas organis disebabkan oleh dinamika penduduk. Konsep ini merujuk pada
jumlah orang dalam masyarakat dan banyaknya interaksi yang terjadi di antara
mereka. Semakin banyak orang berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan
sumber-sumber yang terbatas, sementara makin meningkatnya jumlah interaksi akan
berarti makin meningkatnya perjuangan untuk bertahan di antara
komponen-komponen masyarakat. Peningkatan pembagian kerja seharusnya
menyebabkan orang untuk saling melengkapi, dan bukannya berkonflik satu sama
lain. Peningkatan pembagian kerja menawarkan efisiensi yang lebih baik, yang
menyebabkan peningkatan sumber daya, menciptakan kompetensi di antaranya secara
damai. Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas organis mengarah pada bentuk
yang lebih solid dan lebih individual daripada masyarakat yang dibentuk oleh
solidaritas mekanis. Di sini, Durkheim memberi muatan positif pada
individualitas yang bukannya menghancurkan keeratan ikatan sosial, tetapi
malahan dibutuhkan untuk memperkuat ikatan tersebut.
3) Hukum Represif dan
Restutif
Fakta sosial material dan fakta
sosial nonmaterial sebetulnya saling terkait. Dalam pembahasan sebelumnya,
pembagian kerja dan dinamika penduduk adalah fakta sosial material dan
solidaritas yang terbentuk di dalamnya adalah fakta sosial nonmaterial. Namun,
perhatian Durkheim lebih ditujukan pada fakta sosial nonmaterial, yakni
solidaritas tersebut. Untuk mempelajari fakta sosial nonmaterial secara ilmiah,
sosiolog harus menguji fakta sosial material yang merefleksikan hakikat dan
perubahan fakta sosial nonmaterial. Dalam karya monumentalnya tersebut,
Durkheim mencoba untuk menkaji perbedaan antara hukum dalam masyarakat dengan
solidaritas mekanis dengan hukum dalam masyarakat dengan solidaritas organis.
Hukum represif membentuk masyarakat dengan solidaritas mekanis, karena
moralitas kolektif yang ada menjadi standar untuk menghukum. Pada hukum
represif ini, pelanggaran terhadap moralitas bersama akan membuat pelanggar
dihukum secara berat. Hukum restitutif (bersifat memulihkan) membentuk
masyarakat dengan solidaritas organis. Dalam masyarakat seperti ini,
pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu, bukan terhadap sistim
moral kolektif. Pada masyarakat dengan solidaritas ini, sistim moral kolektif
bergeser maknanya, bukan dihilangkan. Hukum yang diterapkan didasarkan atas
restitusi.
4) Normal dan Patologi
Salah satu hal yang cukup ditekankan
dalam gagasan Durkheim dalam bukunya tersebut adalah bahwa seorang sosiolog
harus mampu untuk membedakan mana masyarakat sehat dan mana masyarakat yang
patologis. Durkheim menyatakan bahwa masyarakat yang sehat bisa diketahui
karena sosiolog akan menemukan kondisi yang sama dalam masyarakat lain yang
sedang berada pada level yang sama. Jika masyarakat dalam kondisi yang biasanya
mesti dimilikinya, maka bisa jadi masyarakat itu sedang mengalami patologi.
Durkheim menggunakan ide ini untuk mengeritik beberapa bentuk abnormal yang ada
dalam pembagian kerja modern. Ada tiga bentuk perilaku abnormal yakni:
a. Pembagian Kerja
Anomik
yakni tidak adanya regulasi dalam
masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau
memberitahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. Perilaku
ini mengacu pada kondisi sosial di mana manusia mengalami kekurangan
pengendalian moral.
b. pembagian kerja yang
dipaksakan
perilaku ini merujuk pada fakta bahwa
norma yang ketinggalan zaman dan harapan-harapan bisa memaksa individu,
kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka.
Tradisi, kekuatan ekonomi atau status bisa menjadi lebh menentukan pekerjaan
yang dimiliki, ketimbang bakat dan kualifikasi.
c. pembagian kerja yang
dikoordinasi dengan buruk
Disini Durkheim kembali menyatakan bahwa
solidaritas organis berasal dari kesalingbergantungan antarmereka. Jika
spesialisasi seseorang tidak lahir dari kesalingbergantungan yang meningkat,
melainkan dalam isolasi, maka pembagian kerja tidak akan terjadi di dalam
solidaritas sosial.
5) Keadilan
Agar pembagian kerja dapat
berfungsi sebagai moral dan secara sosial menjadi kekuatan pemersatu dalam
masyarakat modern, maka ketiga perilaku patologi tersebut harus diminimalisir.
Keadilan sosial merupakan kunci bagi proses yang dialami masyarakat modern,
yang tidak lagi dipersatukan atas dasar persamaan, tetapi atas dasar perbedaan,
di mana perbedaan tersebut mengarah pada sikap kesalingbergantungan.
(c) Teori Bunuh Diri
Durkheim
memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena
konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan
tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk
menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan penelitian tentang angka
bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data
yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis
sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan
kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana
penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat
integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Pentingnya arti solidaritas sosial dalam
masyarakat bagi seorang individu ditunjukkan oleh Durkheim dalam menganalisis
tindakan bunuh diri. Tindakan yang demikian tampak individual, namun tidak
dapat dijelaskan melalui cara individual, karena selalu berhubunganan dengan
perkara sosial.
Durkheim tidak memfokuskan diri pada
mengapa orang bunuh diri, tetapi pada mengapa angka bunuh diri dalam satu
kelompok (masyarakat) bisa lebih tinggi dari kelompok (masyarakat) yang
lainnya. Kesimpulan Durkheim akan hal tersebut adalah bahwa faktor terpenting
dalam perbedaan angka bunuh diri akan ditemukan dalam perbedaan level fakta
sosial. Kelompok yang berbeda memiliki sentimen kolektif yang berbeda sehingga
menciptakan arus sosial yang berbeda pula. Arus sosial itulah yang mempengaruhi
keputusan seorang individu untuk bunuh diri.
Durkheim
memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam
masyarakat:
a.
Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama.
Dari data
yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di
negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya.
Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh
masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.
b.
Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga.
Dari
penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu
keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial
yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara
anggota-anggota kesatuan tersebut.
c. Bunuh Diri dalam Kesatuan
Politik.
Dari data
yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan
militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai.
Sebaliknya dengan masyarakat sipil.
Kemudian
data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil
pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa
tidak terjadi pergolakan politik Teori
bunuh diri Durkheim dapat dilihat dengan jelas melalui memahami dua fakta
sosial utama yang membentuknya, yakni: integrasi dan regulasi. Integrasi
merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat dan regulasi merujuk
pada tingkat paksaaan eksternal yang dirasakan oleh individu. Menurut Durkheim,
kedua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka
bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun dan yang lain meningkat.
Berdasarkan hal tersebut maka terdapat empat jenis bunuh diri, yakni: bunuh
diri egoistis, bunuh diri altruitis, bunuh diri anomik, dan bunuh diri
fatalistis.
1. Bunuh Diri Egoistis.
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat
atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial
yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan
bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu.
Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut
melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang
disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang
melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas
dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan
ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada
faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana
individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2. Bunuh Diri Altruistis.
Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat
dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah
bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada
tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri). Bunuh diri ini makin
banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung
pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika
integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi
kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
3. Bunuh
Diri Anomic.
Bunuh
diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan
tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya
kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak
pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan
orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum
dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi
depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya
kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama
ini mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa
kesuksesan yang tiba-tiba individu
menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan
diri.
4. Bunuh Diri Fatalistis.
4. Bunuh Diri Fatalistis.
Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan
seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa
depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas.
Contoh: perbudakan.
Keempat jenis bunuh diri
dapat dijelaskan dengan bagan:
EMPAT JENIS BUNUH DIRI
|
||
Integrasi
|
Rendah
|
Bunuh
Diri Egoistis
|
Altruistis
|
Tinggi
|
Bunuh
Diri
|
Regulasi
|
Rendah
|
Bunuh Diri Anomik
|
Fatalistik
|
Tinggi
|
Bunuh
Diri
|
Dalam kasus bunuh diri egoistis,
manusia berlaku sebagai pribadi dan manusai sosial. Manusia sosial mengandalkan
adanya suatu masyarakat tempat ia mengungkapkan dan mengabdikan dirinya. Jika
di dalam keadaan masyarakat ini tidak erat fakta sosialnya, maka individu tidak
lagi merasakan kehadiran masyarakat sebagai pelindungnya, dan hilanglah tempat
berpijak individu, yang tinggal hanyalah kesepian yang menekan. Makin lemah
atau longgar ikatan sosial anggotanya anggotanya, makin kecil ketegantungan si
individu terhadap masyarakat itu. Dalam keadaan seperti ini, individu
bergantung pada dirinya sendiri, dan hanya mengakui aturan-aturan yang
menurutnya benar dan menguntungkan dirinya.
Dalam kasus bunuh diri altruistik,
terjadi ketika adanya kewajiban untuk membunuh dirinya yang diakibatkan oleh
ketatnya aturan adat. Disini integrasi individualnya sangat kokoh. Contoh bunuh
diri pada kasus ini adalah bunuh diri seorang istri akan kematian suaminya,
bunuh diri seorang pelayan pada kematian tuannya, atau seorang prajurit pada
kematian pemimpinnya.
Dalam kasus bunuh diri anomik, masyarakat
bukanlah hanya merupakan tempat tumpuan perasaan individu, dan aktivitas
sekelompok individu yang berkumpul menjadi satu, tetapi masyarakat juga
memiliki kekuatan untuk menguasai individu-individu anggota masyarakat
tersebut. Antara cara regulatif itu terlaksana dan jumlah bunuh diri terdapat
kaitan yang sangat erat. Kurangnya kekuatan mengatur dari masyarakat terhadap
individu, menyebabkan terjadinya kasus bunuh diri. Bunuh diri semacam ini
terjadi dalam masyarakat modern. Kebutuhan seorang individu dan pemenuhannya
diatur oleh masyarakat. Kepercayaan dan praktek-praktek yang dipelajari
individu membentuk dirinya dalam kesadaran kolektif. Jika pengaturan terhadap
individu ini melemah, maka kondisi bunuh diri memuncak. Fakta menunjukkan bahwa
krisis ekonomi membangkitkan kecenderungan bunuh diri dan sebaliknya, keadaan
kemakmuran yang datangnya lebih cepat juga mempengaruhi kejiwaan anggota
masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
bunuh diripun dapat dianalisis secara sosial, dalam bunuh diri egoistis, hidup
individu seolah-olah kosong, karena pemikiran terserap ke dalam diri individu,
tidak lagi mempunyai objek. Bunuh diri atruistik, individu melepaskan
diri sendiri dalam antusiasme kepercayaan religius, politik. Bunuh diri anomik,
si individu telah kehilangan dirinya larut ke dalam nafsu yang tidak terbatas.
(d)
Teori tentang Agama (The Elementary Forms of Religious Life).
Dalam teori
ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi
agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices
relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart
and forbidden – belief and practices which unite into one single moral community
called church all those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal
dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang
dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari
pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective
consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan
dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian
menjelma ke dalam collective representation.
Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya
sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya,
agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal,
agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus
agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka
tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara
keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian
lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah kembali.
BAB V
APLIKASI
KASUS

~KASUS YANG BERKAITAN DENGAN TEORI~
BUNUH DIRI
Dalam
bukunya “SUICIDE” Emile mengemukakan dengan jelas bahwa yang menjadi penyebab
bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi social. Teori ini muncul karena Emile
melihat didalam lingkungannya terdapat orang-orang yang melakukan bunuh diri.
Yang kemudian menjadikan Emile tertarik untuk melakukan penelitian diberbagai
Negara mengenai hal ini. Peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan
social tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan
menghubngkannya terhadap struktur social dan derajat integrasi social dari
suatu kehidupan.
Terdapat
empat alasan orang bunuh diri menurut Emile Durkheim, yaitu:
1.Karena alasan agama
Dalam penelitiannya, Durkheim
mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri dalam penganut ajaran Katolik dan
Protestan. Penganut agama Protestan cenderung lebih besar angka bunuh dirinya
dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Perbedaan ini dikarenakan adanya
perbedaan kebebasan yang diberiakn oleh kedua agama tersebut kepada
penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih
besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci, sedangkan pada
agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja. Akibatnya kepercayaan
bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga menimbulkan keadaan dimana
penganut agama Protestan tidak lagi menganut ajaran/tafsir yang sama. Integrasi
yang rendah inilah yang menjadi penyebab laju bunuh diri dari penganut ajaran
ini lebih besar daripada penganut ajaran bagama Katolik.
2.Karena alasan keluarga
Semakin kecil jumlah anggota dari
suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk terus hidup.
Kesatuan social yang semakin besar, semakin besar mengikat orang-orang kepada
kegiatan social di antara anggota-anggota kesatuan tersebut. Kesatuan keluarga
yang lebih besar biasanya lebih akan terintegrasi.
3.Karena alasan politik
Durkheim disini mengungkapkan
perbedaan angka bunuh diri antara masyarakat militer dengan masyarakat sipil.
Dalam keadaan damaiangka bunuh diri pada masyarakat militer cenderung lebih
besar daipada masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam situasi perang masyarakat
militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi perang masyarakat militer
lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras dibandingkan saat
keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer cenderung disiplinnya
menurun sehingga integrasinya menjadi lemah.
4.Karena alasan kekacauan hidup (anomie)
Bunuh diri dengan alasan ini
dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai pegangan dalam hidupnya. Norma
atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman yang ada.
BAB VI
KRITIK TERHADAP EMILE DURKHEIM
Durkheim
mendapat kritik terhadap jalan pikirannya yang tidak kenal kompromi tentang
besarnya peran jiwa kelompok yang membentuk individu-individu anggota
masyarakat yang oleh pengeritiknya dianggap berat sebelah. Namun, Durkeim
membantah kritikan tersebut sebab teori-teorinya bukan tak berdasar, melainkan
diperoleh dari penelitian-penelitian langsungnya dan dengan metode-metode
scientific.
Tampilnya Durkheim dengan teori yang
dikembangkannya telah merupakan kekuatan tersendiri untuk menopang kedudukan
Sosiologi di dalam perkembangan selanjutnya. Dia telah mendapat tempat
tersendiri di dalam pemikiran sosiologi dan jasanya begitu besar. Sudah barang
tentu tokoh sosiologi ini tidak lepas dari berbagai kritik tajam yang
dialamatkan kepadanya. Terutama tentang jalan pikirannya tersebut.
Perlu
dicatat, kebolehan Durkheim untuk menerapkan metode yang begitu scientific di
dalam menunjang teori-teori yang diajukannya. Sebagaimana kita lihat dia
beranjak dari fakta-fakta yang dia temukan dan kumpulkan secara mendetail.
Hampir semua teori yang diajukannya itu didukung oleh fakta-fakta dan ini
merupakan prestasi tersendiri dari Sosiolog Perancis ini.
BAB VII
A.
Kesimpulan:
Kenyataan/fakta
sosial tersebut terjadi dalam satu kehidupan bersama/komunitas. Menurut
Durkheim mengatakan bahwa bunuh diri terjadi karena pengaruh agama, keluarga,
dan jabatan/politik. Dari pendapat Durkheim
dapat diketahui bahwa bunuh diri terjadi karena kurangnya solidaritas
dan integrasi social.
Menurut Durkheim, keseluruhan ilmu
pengetahuan tentang masyarakat harus didasarkan pada prinsip-prinsip
fundamental yaitu “realitas objektif” dan “kenyataan/fakta sosial”.
Dalam teorinya
Durkheim membagi bunuh diri menjadi empat macam berdasarkan penyebabnya yaitu: bunuh diri egoistis, bunuh diri
altruitis, bunuh diri anomik, dan bunuh diri fatalistis.
Teori bunuh diri Durkheim dapat dilihat
dengan jelas melalui memahami dua fakta sosial utama yang membentuknya, yakni:
integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan
masyarakat dan regulasi merujuk pada tingkat paksaaan eksternal yang dirasakan
oleh individu.
REFERENSI
Duverger,
Maurice. 1985. Sosiologi Politik.
Jakarta: CV. Rajawali
Soekanto,
soerjono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh
Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pres
Related Posts :
- Back to Home »
- MAKALAH SOSIAL »
- TEORI INTEGRITAS SOSIAL menurut EMILE DURKHEIM

This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteQuickspin Bonus Codes | Free Spins No Deposit 2021
ReplyDeleteHere's what bonus codes Quickspin 바카라사이트 are. To claim the latest no deposit bonus codes, you'll need 카지노사이트 to create an account at a particular casino and register an account by